Sebelumnya, Happy Valentine day, God bless
"Ya!" jawab nya pendek, tegas.
"Ada alasan khusus barangkali!?.
"Saya ingin mengekspresikan kebebasan pribadi saya". Jawabnya setelah diem beberapa saat.
"Kebebasan seperti apa yang terhambat ketikan anda mengenakan jilbab!?.
Pertanyaan saya ini tidak dijawab. Maka dosen itu melanjutkan "Itu tadi jawaban anda pribadi, ato anda mengutip omongan orang lain?!.
"Yang mana?!"
"Soal mengekspresikan kebebasan pribadi tadi?"
Gadis itu diam, tidak tertarik ato tidak mau menjawab. "Biar saya perjelas pertanyaan saya ( tegas pak dosen ): apakah jilbab telah menghambat kebebasan pribadimu?"
"Bapak kok jadi mengurusi urusan pribadi saya sih?!" ia protes. Pipinya memerah, oleh saputan blush on, bukan lantaran marah.
Bukan. Anda kan tau, saya selalu menganggap mahasiswa sebagai sahabat sekaligus guru saya. Dari temen-temen mahasiswa saya banyak belajar tentang perkembangan hidup."
Saya bersungguh-sungguh mengatakan itu. Sebagai seorang tua, saya sebagai bapak dari dua anak gadis, saya mulai merasa tertatih-tatih mengejar perkembangan nilai yang berjalan sangat pesat. Namun mahasiswi didepan saya belum juga angkat bicara. "Maafkan kalau saya, kamu nilai lancang," kata dosen itu menghiba.
"Kakak saya sulit mencari pekerjaan gara-gara memakai jilbab," katanya, terkesan tiba-tiba. "Dijawa timur ada ribuan wanita menganggur, setau saya tak semua nya memakai jilbab",
"Tapi temen saya dikeluarkan dari pekerjaan nya gara-gara memutuskan berjilbaba!" nada bicara nya meninggi, ada tekanan pada kata "gara-gara".
"Ada berapa banyak orang, wanita khususnya, yang kehilangan pekerjaan bukan gara-gara jilbab?!"*Pemujaan Keindahan Tubuh Wanita*
Dengan penuh rasa hormat, dosen tadi memahami konflik batin mahasiswi tadi. Diluar sana, ada upaya sangat sistematis untuk melawan nilai-nilai keTuhanan. Wujudnya, memerangi simbol-simbol kesadaran keberagamaan, antara lain dengan dalih keberagamaan. Itu sudah terjadi di Perancis dan Turki. Aromanya juga sudah sejak lama merambat disini, di negeri kita ini.
Karna itu saya menghormati dan bersimpati kepada wanita-wanita yang dipersulit mendapatkan pekerjaan, atau kehilangan pekerjaan "gara-gara" berjilbab. Simpati kita, tentunya juga bagi wanita yang terus menerus digarap untuk memiliki obsesi mencapai "keberhasilan hidup" dengan jelas ukuran kemampuannya.
Ekses nya, lahirnya pemujaan terhadap keindahan tubuh dan kecendrungan memamerkannya. Mereka seolah hendak mengatakan bahwa bagi wanita, tubuhnya lah yang dihargai. Karna itu wanita mesti memiliki kaki panjang, (maaf) bokong ketat, dan dada melangit untuk menarik perhatian pria.
"Bila pria boleh berpakaian minim, celana pendek dan dada terbuka, mengapa wanita tidak?!" begitu tuntutan atas nama Emansipasi Wanita. Realitasnya, dalam dunia olah raga, misalnya, pakean atlet pria cendrung lebih tertutup dibandikang atlet wanita.*Pikiran Laki-laki*
Apa yang salah dengan pemahaman kita tentang kebebasan? Salah satunya adalah salah kaprah menyamakan kebebasan wanita dengan kebebasan fisik, khususnya untuk kebebasan berpakaian apa pun. Boleh jadi kesalahan itu bertolak dari asumsi bahwa ada korelasi antara kebebasan pribadi dengan keterbukaan berpakaian. Maka tak heran jika ada yang mempersepsi perempuan muslim berjilbab sebagai "Diperbudak oleh agamanya". Atau oleh suaminya.
Karna itu, kecemasan yang dikibarkan penentang UU Antipornograpi adalah terganggunya kebebasan berekspresi, khusunya dalam berpakaian. Pesannya, kalau ada wanita dengan pakaian setengah terbuka, pikiran laki-laki jangan kotor. Jangan ditanya, untuk apa wanita memamerkan keindahan tubuhnya?.
Menariknya, sudah banyak protes dilancarkan kaum wanita cuman dijadikan Objek. Iklan mobil dianggap tak komplit, kalau tak ada wanita bertelanjang paha disampingnya. Iklan ban tak sempurna kalau tak dihiasi wanita berdada setengah terbuka. Bahkan keramik indah pun perlu dipegang wanita dengan pinggang dan punggung terbuka.
"Ahh..itu pikiran bapak aja yang ngeres. Itu kan simbolisasi bahwa produk keramik itu seindah wanita!" kata mahasiswi tadi. "Sama sekali tidak merendahkan wanita, sama dengan benda yang bernama keramik!" cetusnya.
"Syukurlah, saya cuman kuatir, dengan membiarkan orang menjadikan wanita sebaai objek, wanita-wanita memberi andil, membangun stereotip yang salah. Maukah kita bertanya, kapan terahir seorang pria memperhatikan pikiran wanita, bukan tubuh nya. dalam iklan mobil, ban atau keramik?".
"Kalau saya boleh mengingatkan, saya pikir jilbab itu salah satu cara Tuhan untuk menempatkan wanita dalam posisinya yang terhormat. Maksut saya, biarlah wanita dihargai bukan semata karna tubuhnya, bukan karna fisiknya, tapi lebih karna fikirannya dan kualitas spiritualnya," kataku. Menurut saya, wanita yang mengenakan jilbab itu, menyadari mamfaatnya karna diperlukan pria sebagai manusia, bukan sebagai mainan.
Photo By : aku sendiri
Kartiza Aprilianti , 18th Mahasiswi Denpasar Bali.
Tema oleh : Zainal Arifin Emka, jakarta
Saturday, February 14, 2009
Wanita Bukan Objek Seksual
Diposkan oleh
anumurama
Label:
Publicasi
1 komentar:
pengalaman pribadi?
Post a Comment